Minggu, 27 Januari 2013

A LIFETIME STUDENT

Sekolah.
Berapa banyak dari kita yang benar-benar menyukai sekolah? Atau mungkin pertanyaannya saya ganti menjadi seperti ini: berapa banyak dari kita yang masih ingat sedikit saja pelajaran Pendidikan Pancasila atau Trigonometri? Bagus kalau masih ingat. Dan berapa banyak dari kita yang justru masih menyimpan jelas memori persahabatan saat kita masih di bangku sekolah menengah?

Saya tidak anti sekolah. Saya tetap menyukai sekolah.
Dengan alasan yang sangat subjektif: belajar hal baru lewat buku (yang memang sudah seharusnya begitu), ketemu banyak teman, lalu menunggu saat pulang. Karena aktivitas saya justru lebih banyak dan menyenangkan ketika pulang sekolah. Hahaha... Seiring saya dewasa, di umur saya yang sekarang sudah 30 tahun, dan saya seorang desainer grafis sekarang, kemudian saya berpikir...dulu saya belajar apa saja ya? Kalau saya sudah tahu cita-cita saya jadi desainer grafis pada saat itu, lalu kenapa saya harus dipaksakan menghafalkan reaksi kimia, rumus fisika, dan tidak boleh tidak - harus dapat minimal angka 7 di matematika kalau saya mau lulus sekolah atau hanya sekadar kalau tidak mau dimarahi orang tua. Kenapa saya harus - tidak boleh tidak - harus menghafal peta buta di mata pelajaran geografi, yang lalu memaksa saya untuk mencontek karena saya sama sekali buta akan peta buta pada saat itu, sementara saya lebih tertarik pelajaran bernyanyi atau menggambar, atau menulis narasi dalam Bahasa Indonesia.

Kalau saja orangtua dan guru-guru saya sadar lebih cepat kalau saya bisa dengan sangat baik membuat struktur warna di atas medium kertas, atau saya bisa membuat komposisi warna dengan sangat baik dengan daun kering, atau bahkan saya dapat menulis dengan Bahasa Indonesia dengan struktur bahasa dengan sangat baik, lalu tidak memaksakan saya untuk dapat nilai A di pelajaran Biologi, mungkin saya sudah jadi art director sekaligus copywrtiter yang lebih berkualitas hari ini. Hehehe... Hingga akhirnya saya todak pernah berpikir 2 kali untuk memilih Bahasa/Linguistik sebagai spesifikasi saya ketika SMA dan Desain Komunikasi Visual sebagai pilihan fakultas ketika saya masuk universitas. Saya sama sekali tidak butuh options pada saat itu.

Lalu hari ini, beberapa tahun setelah saya menyelesaikan pendidikan formal dan bekerja sebagai Graphic Designer, apa semua ilmu tadi terpakai? Ya. Semua? Tidak. Tetapi buat saya, ilmu itu seperti alarm. Pasti ada saat di mana otak kita me-recall apa yang kita pelajari di bangku sekolah dengan medium buku teks atau praktek. Pasti. Itu saja? Juga tidak.

Wise men say, pengalaman itu adalah guru yang paling berharga. Cliche but true.

Saya termasuk murid dengan prestasi baik sewaktu sekolah. Tidak hebat, tapi juga tidak mengecewakan. Sekali saya mendapat beasiswa dari salah satu Japan Foundation, lalu berusaha mengikuti tes untuk scholarship ke Jepang walau gagal di step awal karena Bahasa Inggris saya tidak terlalu baik pada saat itu. Hahaha... Tapi hari ini saya bersyukur, kalau saya berhasil dapat scholarship, yang pada saat itu saya juga tidak yakin apa tujuan saya, apa hari ini saya tetap jadi desainer - yang mana adalah cita-cita yang sudah saya rencanakan sejak lama? Belum tentu.

Hari ini saya berada di sini. Singapura. Negara di mana saya tidak pernah membayangkan saya bisa bekerja dan berkarya di sini. Bahkan 2 tahun lalu pun, dalam bayangan saja tidak. apalagi rencana. Lalu saya berpikir...apa sih yang membawa saya bisa kesini? Jawabnya adalah...akumulasi. Yang membawa saya bisa ke sini adalah akumulasi dari serangkaian pengalaman, ilmu, dan tentu saja orang-orang di sekitar saya. Saya tidak "berangkat" sendiri. Saya bisa kesini karena guru-guru saya di masa lalu, teman, sahabat, orang tua, keluarga, dll. Bukan hanya keberhasilan-keberhasilan kecil, namun juga kegagagalan dan penolakan di masa lampau yang akhirnya saya rangkum dalam sebuah CV dan portfolio dalam format PDF sederhana itu. Kemudian saya berhasil terbang ke Singapura.

Mission complete?
Lalu bagaimana dengan sekolah? Katanya mau lanjut ke S2 (master degree)?

Pendidikan formal saya berhenti di jenjang Strata 1 sebagai Sarjana Seni. 4 tahun lamanya untuk 'menebus' sertifikat kelulusan itu. Lalu 2 kali saya mendaftar S2 di Universitas Indonesia, namun berhenti di tahap pendaftaran saja. Uang pendaftaran dari mama saya belikan pulsa saat itu. Hahahaha... Lalu usaha ke-2 saya gagal karena papa yang tiba-tiba harus berhenti bekerja. Harapan saya...pupus. Hari ini saya sama sekali tidak menyesal saya gagal melanjutkan pendidikan ke S2.

Kenapa? Ini alasannya....

1. Sebenarnya sederhana saja. Karena saya yakin bahwa apa yang saya cetak di buku rapot dan ijazah tidak menjamin bagaimana masa depan saya. buktinya, saya diminta melampirkan ijazah universitas saya ketika mengajukan visa kerja di Singapura. Untuk apa? Apa mereka mempertimbangkan nilai-nilai saya? Tidak. Melainkan (mungkin) hanya untuk urusan administrasi saja. Saya bisa sampai di sini karena kerja keras dan keberuntungan, which is saya juga percaya bahwa keberuntungan-pun berhak memilih ke mana dia berlabuh. Jalan saya terlalu mulus. Tapi tidak dengan proses yang ternyata harus saya hadapi di sini. Rintangan dan tantangan ternyata banyak sekali. Bekerja dan belajar di Singapura...sama sekali tidak mudah.

2. Saya sadar, betapa membosankannya saya, designer, jauh-jauh datang ke sini...lalu cuma belajar design? "Boros" sekali ya? Lalu saya mulai mencoba hal-hal baru yang belum pernah saya coba sebelumnya. Saya mulai membuka 'pintu' saya sebagai designer lebar-lebar dan menjadi manusia biasa di dunia nyata dan dunia maya.






Saya mulai beli buku yang BUKAN buku design.
Saya menonton musikal BUKAN berbahasa Indonesia (waktu itu musikalnya pakai bahasa mandarin).
Saya makan makanan yang BUKAN comfort food saya.
Saya pacaran dengan orang Meksiko yang berdomisili di Chicago.
Saya ngobrol dengan uncle-uncle penjual kopi di hawker yang TIDAK BISA bahasa inggris.
Saya mulai TIDAK membaca buku Stevan Sagmeister. Saya membaca buku fashion.
Saya masuk ke Buddhist Temple dan mengaku sebagai Buddhist untuk tahu bagaimana mereka menyembah.
Saya beli dan main gitar (lagi) setelah 3 tahun berhenti main gitar dan nyanyi.
Saya belajar masak Guacamole dan Rouladen (dan gagal), BUKAN lagi nyaman masak Bakwan Jagung yang saya sudah hapal betul bagaimana cara masaknya.
Saya mulai belajar bahasa Tagalog.
Saya mulai tertawa ketika teman saya ngobrol dengan bahasa hokkien.
Saya mulai makan masakan India yang saya sama sekali tidak pernah suka.
Saya mencoba online dating.
Saya bertemu seorang laki-laki Brazilian, dan akhirnya belajar bahasa Portugis.
Saya beli buku tentang Carrot Cake, dan BUKAN tentang Tipografi.
Saya bertemu dan menolong a total stranger, yang ternyata seorang creative director.
Saya bersahabat dengan auntie jompo yang bekerja sebagai waitress di hawker center.
Saya nonton Air Show yang samasekali saya nggak ngerti.
Saya bersahabat dengan laki-laki di belahan dunia lain di Eropa sana.
Saya beli tiket pesawat seharga $2000 secara impulsive dan akan berangkat ke Jerman 40 hari dari sekarang.

Dan saya...cukup bahagia. Dan merasa beruntung.

3. Ilmu adalah akumulasi dari serangkaian kejadian yang kita alami, dan semua itu datangnya BUKAN tanpa tujuan. Saya mulai belajar bahasa Jerman. Ya, dulu saya pernah dapat nilai A di mata pelajaran Bahasa Jerman saya, dan hari ini saya heran kenapa saya bisa dapat nilai A? Hahaha... Dan sekarang saya 'harus' belajar bahasa Jerman (lagi). Tidak pernah ada untung-rugi dalam belajar. Ilmu ada di sekitar kita. Dan adalah bukan keharusan untuk duduk manis di bangku sekolah.

Kita ini generasi yang beruntung. Kita punya buku, kita punya internet, kita punya teman, kita punya sahabat, kita punya strangers di sekitar kita di mana kita bisa belajar. Kalau saya tidak sanggup bayar guru di sebuah institut, saya masih punya jaringan internet yang cukup baik untuk saya melihat tutorial bahasa mandarin, tutorial bagaimana belajar chord ukulele atau gitar, belajar bagaimana sih pronounce bahasa jerman atau bahasa inggris yang benar, atau sekadar tutorial gimana sih masak soup yang enak?

Sekolah.
Berapa banyak dari kita yang benar-benar menyukai sekolah?
Atau...kita mulai sadar bahwa alam raya ini...ya sekolah yang sebenar-benarnya?



Singapura,
Sebelum waktu makan siang tiba. 28 Januari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar