Sabtu, 17 Maret 2012

MENJADI TEKAWE (Being Women's Labor). Part #1

2004.
Saya memutuskan untuk mengangkat issue ketenagakerjaan luar negeri sebagai tema Tugas Akhir. Tidak betul-betul peduli, hanya berdasarkan fakta bahwa saya dapat dengan mudah mendapatkan informasi sebagai landasan permasalahan yang bisa saya angkat pada waktu itu.

Nirmala Bonat.
Saya masih ingat betul namanya. Mukanya diseterika majikannya. Berangkat membawa segumpal cita-cita, namun pulang membawa berita dan bencana. Nirmala menjadi issue nasional pada saat itu. Tugas Akhir saya dengan mudah selesai.

2011.
Kalau saja tahun ini saya membuat tulisan untuk sebuah Tugas Akhir dengan tema yang sama, mungkin saya akan lebih mengerti bagaimana tulisan itu betul-betul ada bukan karena kutipan dari berita, namun betul-betul kejadian nyata.

Tahun lalu saya resmi menjadi TKW. Tenaga Kerja Wanita. Sedikit bangga karena sekarang saya termasuk pahlawan. Pahlawan devisa. Penyumbang devisa negara sebesar lebih dari 60 trilyun rupiah tiap tahunnya.

Hah?? Tekawe? Iya.
Buat saya, tidak ada yang salah dengan kata "Tekawe", walaupun sampai sekarang saya masih sering mendengar teman-teman mengolok, bergurau, dan menyebut saya dengan sebutan itu. Buat saya itu bukan olokan. Memang saya Tekawe. Dan itu betul.

Tekawe identik dengan pekerja kasar yang tidak berpendidikan, buruh bangunan, atau pembantu rumah tangga. Tekawe dianggap sebagai golongan pekerja paling "rendah". Kalaupun saya mengaku sebagai Tekawe, beberapa orang berkata "elo kan tekawe kereeeen...". Semakin bingung. Kok ya sekarang ada lagi bedanya? Tekawe keren dan tekawe nggak keren. Saya sendiri belum tau bedanya. Hahaha...

Menghadapi Petugas Imigrasi. Di Negeri Sendiri.
Hari dimana saya harus berangkat mengadu nasib di Singapura tidak berjalan mulus. Bertanya soal White Card pada petugas imigrasi dini hari itu, memaksa saya balik lagi ke counter pembuatan kartu tanda ketenagakerjaan sebagai tenaga kerja asing di luar negeri. Interview singkat itu berjalan absurd. Ditanya gaji, saya bertanya balik tentang tujuan kartu itu. Mereka hanya menjawab..."yah, buat data aja mbak".Ok...fine!

Setiap menghadapi pintu imigrasi dan mereka tau saya ini tenaga kerja asing, perlakuan mendadak berubah. Tidak ada lagi senyum ramah seperti ketika saya traveling seperti biasanya. Yang ada hanya pertanyaan..."Kerja apa? Sendiri atau pake agent?". Tanpa senyum. Mungkin karena saat itu saya tidak keren sama sekali. Hanya jeans belel, kaos lusuh, sandal jepit, dan backpack. Hahahaha...

Malam Minggu. Orchard Road.
Saya selalu suka malam minggu. Tweet mulai bermunculan. Mengingatkan bahwa saya harus kongkow di Orchard Road untuk memenuhi fitrah saya sebagai Tekawe. Hahaha... Betapa image Orchard Road sangat kuat sebagai tempat hangout para Tekawe. Sama seperti Victoria Park di Hongkong.

Malam minggu selalu istimewa. Betul, Orchard Road selalu terlihat berbeda saat malam minggu. Turis. Foreigner. Labor. Local. Semua berbaur melepas penat. Hanya sekadar duduk-duduk di depan Lucky Plaza atau belanja H&M. Namun yang selalu istimewa adalah poco-poco ala Filipina yang selalu terlihat hits dengan iringan street musician yang itu-itu saja. Terakhir saya dengar dari lobi Takashimaya, mereka nyanyi Menghitung Hari-nya Krisdayanti. Hahaha...

Tekawe selalu senang etalase. Gak sia-sia Visual Merchandiser bekerja. Etalase jadi pilihan untuk sekadar eksis di foto. Bergaya di depan butik Chanel mungkin sudah cukup membuat kita bangga. Toh setidaknya ketika di upload di Facebook, seolah-olah kita baru saja keluar belanja dari butik itu. Plastic Bag Giordano itu urusan nanti.

Ketika apa kata keluarga dan tetangga di kampung menjadi begitu penting. Setidaknya kita sadar akan pencitraan. Bahwa hidup dan bekerja di luar negeri itu jaminan makmur dan sejahtera. Bahwa tidak usah pusing urusan gaji dan materi. Bagaimana kenyataan menghadapi majikan, itu urusan nanti.