Minggu, 26 Agustus 2012

Melihat Perut Buncit Jakarta



Singapura, 26 Agustus 2012.
Tepat seminggu setelah Hari Raya, beberapa hari setelah kembali dari tanah air.
Rasanya belum habis rindu ini, namun pekerjaan sudah menunggu. Hari ini, pikiran saya kembali ke ibukota. Seminggu lalu saya menapakkan kaki, dari mulai bandara hingga rumah saya di ujung selatan Jakarta...semua terasa (terlalu) bersahabat. Gerak-gerik warganya juga berbeda, semua terlihat lebih santai dan tidak terlalu agresif seperti biasanya. Tentu saja, ini bukan Jakarta yang sebenar-benarnya.

Setahun sekali, saya melihat Jakarta melepas bebannya. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah, nafasnya terengah-engah, lelah merangkul kepenatan setahun penuh. Saya berpikir, kalau memang sekarang Jakarta sedang menanggung penyakit kanker stadium akhir sekalipun, dia tidak mau lagi di kemo. Percuma. Toh penyakit sudah menggerogoti dan tinggal meunggu waktu saja.

Hari itu saya melihat awan sedikit biru. Lapisan karbon dan timbal mungkin lebih tipis dari biasanya. Kalau tahun lalu saya melihat banyak pedestrian atau penumpang bus umum bermasker, hari itu semua terlihat normal-normal saja. Di twitter pun sepi sekali komplain macet. Jakarta dan warganya memang lagi beristirahat dengan tenang.

Besok sudah Senin. Senin pertama setelah liburan panjang Hari Raya.
Adalah cerita klasik kalau Jakarta akan kembali "normal".
Adalah rahasia umum kalau Jakarta akan kembali sesak, bahkan lebih sesak.

Jakarta tidak sanggup menahan arus Urbanisasi. Terlalu banyak mimpi di Jakarta. Terlalu banyak harapan dan iming-iming duniawi. Terlalu banyak cerita indah yang cuma berujung kefrustasian di jalan raya dan biaya hidup yang semakin tinggi. Katanya, di Jakarta...botol plastikpun bisa jadi duit. Mengais kali comberan bisa jadi duit. Pake stileto mengkilat dan angkat rok minipun bisa jadi duit. Sementara sawah dibiarkan tandus dan mengering.

Tidak ada lagi yang mau bekerja di kampung. Jakarta jadi pelabuhan hidup. Bermimpi bisa beli sawah berpuluh petak di kampung halaman. Wong sawahnya saja ndak ada yg ngurusi lagi... Bagaimana?

Jakarta sudah kehilangan kemampuannya untuk melayani warganya. Jangankan harta. Bahkan udara bersih, air bersih, dan makanan yang layak susah didapat. Kamu pikir, bisa setiap hari makan di Plaza Senayan atau sekadar menyeruput kopi panas di Starbucks? Kalau saja warga Jakarta punya hak yang sama untuk dapat air bersih yang layak...itu saja mungkin sudah cukup, sehingga mereka nggak perlu lagi menunggu air cucian piring untuk di-recycle.

Jakarta buncit!
Melihat perutnya saja begah rasanya. Entah terlalu banyak makan karena doyan atau dipaksakan. Sudah buncit, dicemooh pula. Masih kurang apa?

Kalau saja urbanisasi terkendali, Jakarta nggak akan sebegah besok.
Kalau saja warga mau diatur, Jakarta nggak akan sesesak besok.
Tapi nyatanya, urbanisasi akan tetap terjadi dan warga akan semakin frustasi...
Jakarta masih baik, masih bisa menahan muntahnya yang dia tahan bertahun-tahun lamanya.

Besok Senin.
Minggu pertama setelah Hari Raya.
Just chill, be nice, and don't complain, people...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar